Saturday, December 15, 2007

REVOLUSI DI DESA GASOL

Terima kasih kepada Hendi Johari yang telah mengangkat topik ini di Majalah Nebula No.01/THN-IV/Desember 2007 halaman 22-23. Saya merasa sangat terhormat ditempatkan sebagai TOKOH PEREMPUAN.

Berikut tulisan lengkapnya.

Sebuah “revolusi” dilakukan secara diam-diam oleh Ika Suryanawati. Hasilnya? Padi-padi jenis langka tumbuh lagi.



Suatu senja di awal November. Hujan deras meliputi Desa Gasol. Airnya luruh seperti ribuan jarum perak menghujam lahan pesawahan, ditingkahi embusan angin dingin yang membuat daun-daun pohon pisang yang berjejer menari-nari. Dari balik kabut, atap sebuah bangunan kayu mencuat. Sekilas, bentuk bangunan itu menyerupai kuil shaolin. Namun setelah didekati, ternyata itu adalah sebuah rumah modern yang sebagian besar bahannya dari kayu.

Di lahan seluas dua hektare itulah, Ika Suryanawati menjalankan proyek idealnya. Dari 2006, dengan tekun dan sabar, ia mengembangkan beberapa jenis padi varietas lokal yang keberadaannya nyaris punah. Hawara batu, gobang omyok, peuteuy, banggala, pandan wangi, beureum seungit, ketan cikur dan cogreng, adalah nama-nama jenis padi yang sedang dikembangkannya.

Perhatian Ika kepada padi-padi langka tersebut muncul seiring kesibukannya membuat pertanian organik. Itu adalah istilah sistem pertanian tradisional yang pengelolaannya sama sekali jauh dari sentuhan pupuk kimia dan pestisida. “Saya tertarik bikin pertanian organik setelah membaca buku karya Masanobu Fukuoka, Revolusi Sebatang Jerami,” kenang ibu dari tiga anak itu.

Dari buku itu, ia jadi tahu jika selama ini manusia selalu memaksa alam untuk menghasilkan lebih bagi dirinya. Ika memberi contoh bentuk pemaksaan itu dengan maraknya produk massal pertanian penuh rekayasa kimiawi. Dengan berbagai cara, tumbuhan dipaksa memproduksi hasil yang banyak dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Manusia hanya menjadi budak ketidaksabaran dan semata mementingkan kuantitas.

Ika kemudian bergerak cepat mencari informasi tentang jenis-jenis padi langka yang diminatinya. Langkah pertama yang ia lakukan adalah mengunduh informasi dari mesin pencari di internet. “Hasilnya nihil, semua mesin pencari tidak bisa menemukan informasi yang saya inginkan,” ujar perempuan kelahiran Cianjur 40 tahun lalu itu.

Tidak putus asa, Ika mencari informasi langsung ke lapangan. Hampir semua desa yang dulu dikenal sebagai penghasil beras Cianjur, didatanginya. Dari Desa Jambudipa hingga ke Desa Panumbangan. Namun, semua jawabannya sama. ”Para petani itu mengaku sudah lama tidak menanam lagi jenis-jenis padi yang saya cari,” ujarnya.

Namun, keberuntungan menghampirinya di paruh kedua 2006. Justru dari beberapa petani tua di Gasol, ia mendapatkan bibit-bibit padi yang diinginkannya. Walaupun, untuk mendapatkannya tidak mudah. “Saya harus teliti sekali memilih-milihnya, karena di leuit semua jenis padi sudah bercampur baur,” kenang perempuan yang sehari-harinya bekerja pada sebuah perusahaan kontraktor di Jakarta itu.

Alumni Fakultas Pertanian IPB itu lantas menghubungi beberapa petani setempat dan membuat perjanjian kerjasama berdasarkan bagi hasil. Kendati demikian, cara penanaman dan pengelolaan tetap ada di tangan Ika. ”Saya ingin mereka menanam satu lubang untuk satu bibit.”

Beberapa hari kemudian, para petani itu datang lagi, dan menyatakan tidak sanggup dengan metode penananaman yang Ika inginkan. Mereka menganggap cara seperti itu hanya membuang-buang waktu saja. Ika coba menjelaskan pada mereka sistem satu lubang satu benih adalah cara terbaik untuk membuat padi leluasa berkembang.

Dibandingkan sistem satu lubang lima benih yang menjadi kebiasaan petani sekarang, “Cara itu waktunya memang lama, tapi jika petani dulu bisa sabar, kenapa kita sekarang tidak?”

Karena tidak ada titik temu, akhirnya Ika mengakhiri kerjasama tersebut. Ia ke luar dari sistem bagi hasil, dan memutuskan untuk mengupah beberapa petani lain, kendati harus mengeluarkan biaya lebih. ”Cara ini membuat saya bisa bebas menerapkan cara penanaman yang saya ingini,” kata istri dari Fleming Wong itu.

Selain menggunakan sistem satu lubang satu benih, Ika pun memutlakkan pemupukan dengan bahan-bahan alami, seperti kompos dan pupuk kandang. Soal pengairan sawah pun, ia mengambilnya dari aliran hulu Sungai Cianjur yang masih jernih dan belum terkena polusi.

Hasilnya memang sangat menakjubkan. Setelah setahun, padi-padi langka itu tumbuh dengan subur. “Revolusi” yang dilakukannya ternyata tidak sia-sia. Panen pun berlangsung sukses. “Alhamdulillah, kami akhirnya bisa menikmati kembali nasi beras Cianjur asli yang pulen dan wangi itu,” ujarnya sambil tertawa.

Ika sangat percaya pada keselarasan alam dan manusia. Karena itu, ia menyerahkan sepenuhnya apa yang menjadi keinginan alam. Ia yakin, manusia hanya bertugas menjadi pelayan alam semata. Jika pelayanan kita baik, maka alam pun akan sendirinya memberikan hasil yang baik. ”Saya sangat percaya, alam memiliki cara sendiri untuk mengucapkan terimakasihnya,” katanya seraya menerawang jauh ke arah pesawahan.

Jam menunjukan angka 17.38. Hujan deras masih meliputi Desa Gasol. Airnya tetap luruh seperti ribuan jarum perak menghujam lahan pesawahan. Sebuah revolusi memang selalu lahir dari harapan dan keyakinan. Seperti harapan dan keyakinan Ika kepada padi-padinya. HENDI JOHARI.