Sunday, August 20, 2006

PERBURUAN VARIETAS LOKAL

Catatan :
Pare gede
padi varietas lokal, umur panjang, postur lebih tinggi

Pare alit
padi hybdrida, umur genjah, postur lebih pendek

Liburan 17 Agustus 2006 ini cukup panjang (5 hari) karena adanya cuti masal, ditambah akhir pekan dan Isra Mi'raj. Saya sudah merencanakan dari 2 bulan lalu untuk berlibur dengan acara membuat pelatihan pupuk organik bokasi dan berburu varitas lokal Cianjur.

Alhamdulillah, acara pelatihan bisa berlangsung lancar tanggal 19 Agustus 2006.

Dan untuk tanggal 20 Agustus 2006, saya sudah minta kesediaan suami tercinta untuk menemani berburu varietas lokal di sentra-sentra produksi beras di desa-desa Cianjur.

Saat ini ada 9 jenis yang masuk daftar :
1. Pandan Wangi
2. Beureum Seungit
3. Cingkrik
4. Hawara batu
5. Hawara jambu
6. Gobang Omyok
7. Peuteuy
8. Rogol
9. Banggala


Di Gasol, tempat kami berusaha tani, sulit didapati yang menanam pare gede, selain Pandan Wangi. Setelah tanya ke sana sini, Alhamdulillah masih tersisa beberapa orang yang tetap mempertahankan menanamnya. Saat ini kami sudah mendapati :
1. Pandan Wangi,
2. Beureum Seungit
3. Hawara batu
4. Peuteuy
5. Banggala


Berarti ada 4 jenis lagi yang harus kami kumpulkan, Cingkrik, Hawara Jambu, Gobang Omyok dan Rogol.

Kami pergi ditemani Pak Rosyid. Beliau sangat mengenal seluk-beluk pelosok Cianjur karena tugasnya selaku mantri BRI Cianjur selama 30 tahun untuk menganalisa UKM pertanian, walau sekarang beliau sudah pensiun. Ditambah lagi informasi dari Ko Akong (Mantan Pemilik Penggilingan Beras Joglo) yang saya dapat satu hari sebelumnya. Ia memerinci dengan jelas ke mana saja, kami harus pergi dan menyebutkan juragan beras di daerah tersebut.

Tujuan pertama tentu saja ke JAMBUDIPA, desa di wilayah Kecamatan Warung Kondang. Jambudipa dari dulu sangat terkenal sebagai penghasil beras Cianjur paling enak, karena tanahnya yang subur dengan sumber air melimpah dari gunung. Letak Jambudipa sejajar Gasol ke arah barat di kaki Gunung Gede.

Memasuki Jambudipa terlihat hamparan sawah, tapi sudah mulai tertutupi oleh rumah-rumah yang dibangun berjejer di depan hampir di sepanjang jalan desa. Melihat ke kiri dan ke kanan hampir tidak menemukan tanaman padi varietas lokal. Semua padi yang ditaman jenis hybrida. Kami berhenti di dekat Balai Desa dan menanyakan rumah H Sanusi. Seorang warga menunjukkan rumah keturunannya. Kami menemuinya dan mengutarakan maksud untuk membeli benih varietas lokal.

"Aduh tos lami tara melak pare gede, da ayeuna mah sadaya na ku pare alit wae", jawab pemilik rumah. (Aduh sudah lama tidak menanam padi lokal lagi, sekarang semuanya pake benih hybrida).

Kami meneruskan perjalanan dengan tujuan ke sebuah penggilingan beras milik Deden, nasabah BRI binaan Pak Rosyid.

"Sudah lama sekali tidak ada petani yang menggiling pare gede, terakhir kurang lebih setahun lalu ada seorang petani dari Warung Gedang yang menjual padi bulu (varitas lokal-gobang omyok) ke sini", kata Deden. "Pare gede yang masih ditanam cuman Pandan Wangi saja, itu juga kalau untuk dijual dioplos dulu pake BTN (hybrida)kalau murni mah susah da keliwat mahal" dia menambahkan.

Tapi yang menghibur dia berjanji untuk memberitahukan kalau menemukan varietas lokal.

Kami meninggalkan Jambudipa menuju ke desa Cijoho (masih wilayah Warung Kondang) untuk mencari Haji Nawawi. Ternyata di Cijoho juga sama. Sudah tidak pernah terlihat lagi ada petani yang menanam varietas lokal.

Sudah tengah hari, waktunya makan siang ! Kami singgah di rumah makan Sunda Rasa, tepat di depan pasar Warung Kondang. Menu kulit sapi (kikil) jadi andalan utama RM ini. Makan dengan sambel tomat...wuih lezaaat-nya.

Habis makan kenyang, rasa sedikit kecewa terobati, pikiran jadi jernih lagi. Masih ada beberapa sentra beras yang belum dikunjungi. Siapa tahu kami masih bisa menemukan di situ.

Kami meneruskan perjalanan ke Cilaku. Rudi Setiawan, seorang teman semasa SD, jadi juragan kayu di sana. Mengetahui maksud kami datang ke sana, dia memperkenalkan dengan seorang tengkulak beras.

"Tos teu aya deui nu melak pare gede, da ayeuna na mah hoyong nu enggal janten artos wae", katanya. (Sudah tidak ada lagi yang menanam varitas lokal, sekarang sih maunya yang cepat jadi uang saja).

Setelah ngobrol ngalor ngidul, hari tambah sore. Perburuan hari ini dihentikan dulu. Anak-anak sudah dari pagi ditinggalkan Emak-Bapaknya. Kami harus segera pulang.

Masih panjang jalan yang harus kami lewati. Ini adalah langkah awal.

Pulang dari berburu, saya sedikit terhibur, ternyata nasib pare gede masih lebih baik di Gasol. Pak Kiayi (lokasi pertanian kami di Gasol dekat dengan pesantren) dan beberapa orang tua masih menyimpan dan menanamnya walaupun hanya untuk konsumsi keluarganya saja. TUANG SARENG PARE GEDE MAH LANGKUNG BERKAH - MAKAN DENGAN PADI UMUR PANJANG JAUH LEBIH BERKAH.

Cianjur, 20 Agustus 2006

4 comments:

Anonymous said...

salut deh dengan usahanya tuk melestarikan varietas padi lokal. saya sedih juga dengarnya kalau varietas tsb sampai punah. Ayo..teh jalan terus semoga akan terus berkembang. FR, england

Anonymous said...

Salam, saya supri. wah keren nih informasinya. Bisa minta info sentra-sentra produk organik yang masih ada saat ini apa tidak. Kalau ada mohon beri informasi ke : supriyanto_ipb@yahoo.com

Anonymous said...

Saya Nyoman, di Bali tepatnya di kecamatan Penebel kab. Tabanan ada juga padi Lokal Merah yang sudah ada sejak lama, memang tidak memiliki nama khusus. Padi lokal ini ditanam di Subak Wongaya Betan, Subak Jatiluih dan subak sekitarnya. Yang punya info tentang padi lokal merah / beras merah mohon informasi ke : nyoman_budiana@yahoo.co.id

omyosa said...

MARI…
KITA BUAT PETANI TERSENYUM KETIKA PANEN TIBA

"BERTANI DENGAN SISTEM GABUNGAN SRI DIPADUKAN DENGAN PENGGU-NAAN EFFECTIVE MICROORGANISME 16 PLUS (EM16+), PUPUK ORGANIK AJAIB (SO/AVRON/NASA), AGEN HAYATI PENGENDALI HAMA TANAH/TANAMAN (GLIO dan BVR), DENGAN POLA TANAM JAJAR GOROWO"

Teknologi pola tanam jajar gorowo

Kata “gorowo” diambil dari bahasa Jawa yaitu “lego”, “jero” dan “dowo”. Lego artinya luas/lebar, jero artinya dalam dan dowo artinya panjang. Teknologi jajar gorowo merupakan rekayasa teknik tanam dengan mengatur jarak tanam antar rumpun dan antar barisan sehingga terjadi pemadatan rumpun padi dalam barisan dan melebar jarak antar barisan dan diselang dengan parit/selokan sehingga seolah-olah rumpun padi berada dibarisan pinggir dari pertanaman yang akan memperoleh manfaat sebagai tanaman pinggir. Cara tanam padi pola tanam jajar gorowo merupakan rekayasa teknologi yang ditujukan untuk memperbaiki produktivitas usaha tani padi. Teknologi ini merupakan perubahan dari teknologi jarak tanam tegel menjadi tanam jajar legowo dan disempurnakan menjadi tanam jajar gorowo.
Media tanam dalam bentuk bedengan yang tidak digenangi air, tetapi tinggi air pada parit/selokan sama atau sedikit lebih rendah dari permukaan tanah bedengan.
Cara tanam adalah jajar gorowo bisa 4:1 atau 2:1. Pada jajar gorowo 2:1, setiap dua barisan tanam terdapat lorong selebar 45 cm (10cm pinggir bedengan + 25cm parit gorowo + 10cm pinggir bedengan berikutnya), jarak tanam pada barisan masing-masing 18 cm s/d 20 cm, tetapi jarak tanam antar barisan berikutnya 40 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumpun padi yang berada di barisan pinggir hasilnya bisa 2(dua) sampai 3 (tiga) kali lipat lebih tinggi dibandingkan produksi rumpun padi yang berada di bagian dalam.

Rekayasa teknik tanam padi dengan cara tanam jajar gorowo 4:1 atau 2:1. Berdasarkan hasil penelitian terbukti meningkatkan produksi padi sebesar 18-22%.

Keuntungan menggunakan teknik pola jajar gorowo adalah:
1. Pada teknik pola tanam jajar gorowo 2:1, rumpun tanaman padi berada pada barisan pinggir pematang, sedangkan pada teknik pola tanam jajar gorowo 4:1, separuh tanaman berada pada bagian tengah (yang akan mendapat manfaat border effect dari tanaman pinggir).
2. Jumlah rumpun padi meningkat sampai 33%/ha.
3. Meningkatkan produktivitas padi 22%.
4. Memudahkan pemeliharaan tanaman.

Keuntungan bertani pola gabungan SRI, PO, EM16+, dan teknik pola tanam jajar gorowo adalah:
1. Mampu meningkatkan hasil sampai 400% dan kualitas produksi yang lebih baik, termasuk harga jual yang tinggi dibanding cara bertani konvensional.
2. Sistem gorowo yang memberikan ruang/lorong yang luas (termasuk parit/selokan yang dalam) dapat dan sangat cocok dikombinasikan dengan pemeliharaan ikan baby (minapadi)
3. Masa pemeliharaan ikan baby dapat lebih lama, yaitu 70-75 hari, dibanding cara tanam jajar biasa yang hanya 40 - 45 hari.
4. Hasil ikan yang diperoleh dapat meningkatkan usaha tani.
5. Dapat meningkatkan pendapatan usahatani antara 10-30%.

Terimakasih,
omyosa@gmail.com