Catatan :
Pare gede padi varietas lokal, umur panjang, postur lebih tinggi
Pare alitpadi hybdrida, umur genjah, postur lebih pendek
Liburan 17 Agustus 2006 ini cukup panjang (5 hari) karena adanya cuti masal, ditambah akhir pekan dan Isra Mi'raj. Saya sudah merencanakan dari 2 bulan lalu untuk berlibur dengan acara membuat pelatihan pupuk organik bokasi dan
berburu varitas lokal Cianjur.
Alhamdulillah, acara pelatihan bisa berlangsung lancar tanggal 19 Agustus 2006.
Dan untuk tanggal 20 Agustus 2006, saya sudah minta kesediaan suami tercinta untuk menemani berburu varietas lokal di sentra-sentra produksi beras di desa-desa Cianjur.
Saat ini ada 9 jenis yang masuk daftar :
1. Pandan Wangi
2. Beureum Seungit
3. Cingkrik
4. Hawara batu
5. Hawara jambu
6. Gobang Omyok
7. Peuteuy
8. Rogol
9. BanggalaDi Gasol, tempat kami berusaha tani, sulit didapati yang menanam pare gede, selain Pandan Wangi. Setelah tanya ke sana sini, Alhamdulillah masih tersisa beberapa orang yang tetap mempertahankan menanamnya. Saat ini kami sudah mendapati :
1. Pandan Wangi,
2. Beureum Seungit
3. Hawara batu
4. Peuteuy
5. Banggala
Berarti ada 4 jenis lagi yang harus kami kumpulkan, Cingkrik, Hawara Jambu, Gobang Omyok dan Rogol.Kami pergi ditemani Pak Rosyid. Beliau sangat mengenal seluk-beluk pelosok Cianjur karena tugasnya selaku mantri BRI Cianjur selama 30 tahun untuk menganalisa UKM pertanian, walau sekarang beliau sudah pensiun. Ditambah lagi informasi dari Ko Akong (Mantan Pemilik Penggilingan Beras Joglo) yang saya dapat satu hari sebelumnya. Ia memerinci dengan jelas ke mana saja, kami harus pergi dan menyebutkan juragan beras di daerah tersebut.
Tujuan pertama tentu saja ke
JAMBUDIPA, desa di wilayah Kecamatan Warung Kondang. Jambudipa dari dulu sangat terkenal sebagai penghasil beras Cianjur paling enak, karena tanahnya yang subur dengan sumber air melimpah dari gunung. Letak Jambudipa sejajar Gasol ke arah barat di kaki Gunung Gede.
Memasuki Jambudipa terlihat hamparan sawah, tapi sudah mulai tertutupi oleh rumah-rumah yang dibangun berjejer di depan hampir di sepanjang jalan desa. Melihat ke kiri dan ke kanan hampir tidak menemukan tanaman padi varietas lokal. Semua padi yang ditaman jenis hybrida. Kami berhenti di dekat Balai Desa dan menanyakan rumah H Sanusi. Seorang warga menunjukkan rumah keturunannya. Kami menemuinya dan mengutarakan maksud untuk membeli benih varietas lokal.
"Aduh tos lami tara melak pare gede, da ayeuna mah sadaya na ku pare alit wae", jawab pemilik rumah. (Aduh sudah lama tidak menanam padi lokal lagi, sekarang semuanya pake benih hybrida).
Kami meneruskan perjalanan dengan tujuan ke sebuah penggilingan beras milik Deden, nasabah BRI binaan Pak Rosyid.
"Sudah lama sekali tidak ada petani yang menggiling pare gede, terakhir kurang lebih setahun lalu ada seorang petani dari Warung Gedang yang menjual padi bulu (varitas lokal-gobang omyok) ke sini", kata Deden. "Pare gede yang masih ditanam cuman Pandan Wangi saja, itu juga kalau untuk dijual dioplos dulu pake BTN (hybrida)kalau murni mah susah da keliwat mahal" dia menambahkan.
Tapi yang menghibur dia berjanji untuk memberitahukan kalau menemukan varietas lokal.
Kami meninggalkan Jambudipa menuju ke desa Cijoho (masih wilayah Warung Kondang) untuk mencari Haji Nawawi. Ternyata di Cijoho juga sama. Sudah tidak pernah terlihat lagi ada petani yang menanam varietas lokal.
Sudah tengah hari, waktunya makan siang ! Kami singgah di rumah makan Sunda Rasa, tepat di depan pasar Warung Kondang. Menu kulit sapi (kikil) jadi andalan utama RM ini. Makan dengan sambel tomat...wuih lezaaat-nya.
Habis makan kenyang, rasa sedikit kecewa terobati, pikiran jadi jernih lagi. Masih ada beberapa sentra beras yang belum dikunjungi. Siapa tahu kami masih bisa menemukan di situ.
Kami meneruskan perjalanan ke Cilaku. Rudi Setiawan, seorang teman semasa SD, jadi juragan kayu di sana. Mengetahui maksud kami datang ke sana, dia memperkenalkan dengan seorang tengkulak beras.
"Tos teu aya deui nu melak pare gede, da ayeuna na mah hoyong nu enggal janten artos wae", katanya. (Sudah tidak ada lagi yang menanam varitas lokal, sekarang sih maunya yang cepat jadi uang saja).
Setelah ngobrol ngalor ngidul, hari tambah sore. Perburuan hari ini dihentikan dulu. Anak-anak sudah dari pagi ditinggalkan Emak-Bapaknya. Kami harus segera pulang.
Masih panjang jalan yang harus kami lewati. Ini adalah langkah awal.
Pulang dari berburu, saya sedikit terhibur, ternyata nasib pare gede masih lebih baik di Gasol. Pak Kiayi (lokasi pertanian kami di Gasol dekat dengan pesantren) dan beberapa orang tua masih menyimpan dan menanamnya walaupun hanya untuk konsumsi keluarganya saja.
TUANG SARENG PARE GEDE MAH LANGKUNG BERKAH - MAKAN DENGAN PADI UMUR PANJANG JAUH LEBIH BERKAH. Cianjur, 20 Agustus 2006